PELITA, apakah ada yang
masih mengingat akan hal ini ?
Tentu saja, PELITA sangat
terkenal pada eranya saat itu. Benar saja, gebrakan yang dilakukan oleh
presidan ke-2 Republik Indonesia itu berhasil menyita perhatian khalayak dan
seolah-olah menjadi motor pergerakan pembangunan di Indonesia. Bahkan secara
jelas pak presiden pada saat itu disebut sebagai bapak pembengunan. Berlanjut
di masa ini, masa pemerintahan presiden Jokowi, yang hampir sama dengan masa
lalu. Beliau juga menggaungkan tentang pembangunan untuk bangsa ini. Niatan pak
presiden RI ke-7 ini sangat jelas beliau sampaikan secara tersirat pada
presentasinya di pertemuan dengan Negara-negara di dunia (dalam pertemuan KTT APEC)
pada tahun 2014 lalu. Terlepas dari itu semua, pada tulisan ini saya tidak akan
membahas banyak berkenaan eksistensi seorang pemimpin dalam mengawal Negara ini
dati masa ke masa. Mari kita beralih menuju topik yang lain yang sejak tadi
disinggung-singgung diawal paragraf, yaitu berkenaan dengan infrastruktur.
Infrastruktur merupakan
bagian terpenting dalam kehidupan manusia saat ini. Penyebutan manusia saat ini
erat kaitannya dengan perkembangan manusia baik dalam sisi pola pemikiran dan
kebutuhan. Saya dapat menyebut infrastruktur tidak dibutuhkan pada tempo dulu.
Misalnya pada saat mobil belum ditemukan. Tidak adanya alat transportasi berupa
mobil, membuat pola fikir manusia tidak sekompleks hari ini. Dahulu kala tidak
ada yang berfikir keharusan keberadaan jalan raya yang layak pakai dan aman.
Tidak hanya mobil saja, penemuan-penemuan lain pun turut menyumbang dalam
bidang perkembangan ini. Penemuan listrik, mikroskop, telephone, dan banyak
lagi lainnya. Ujung dari ini semua, ditutup dengan kegiatan yang luar biasa
besar dalam sektor industri, yang secara nyata mempengaruhi kehidupan diseluruh
dunia. Kita mengenal istilah ini dengan nama “Revolusi Industri”. Meskipun
revolusi industri tidak dialami oleh Negara kita secara langsung, namun
nyatanya dampak itu tidak mengecualikan Indonesia. Hingga sampai sekarang,
semua Negara didunia mengalami pertumbuhan infrastruktur yang hebat disemua lininya,
tak terkecuali Negara kita Indonesia.
Infrastruktur memang banyak
warnanya, mulai dari gedung, jalan, bangunan energi, fasilitas publik, dan
masih banyak lagi jenisnya. Kita tidak akan memabahas sebanyak itu dalam satu
judul ini. Mari fokus terhadap infrastruktur jalan. Jalan menjadi sangat
popular higga saat ini. Bersamaan dengan kebutuhan manusia untuk melakukan
mobilisasi, jalan seolah-olah menjadi kebutuhan utama. Dibumbui dengan semakin
menariknya moda transportasi, maka tak perlu diragukan lagi bahwa jalan harus
ada dan selalu ada dengan performa terbaik. Maka tak aneh, jika jalan menjadi
bagian terpenting untuk di diskusikan oleh pemerintah dimejanya. Bahkan
undang-undang berkenaan dengan hal ini pun banyak rupanya.
Kondisi jalan di Indonesia
masih malu-malu kalau boleh dikata. Sudah tak terhitung
lagi jumlah jalan yang ada di Indonesia saat ini. Namun bagaimanakah kondisinya
? Bagaimana fungsi dan perannya ? Apakah sudah sesuai dengan aturan yang
berlaku ?
Sebelum menjawab itu semua,
mari sejenak kita mengenal istilah-istilah seputar jalan.
Jalan menurut fungsinya
dibagi menjadi 3 jenis, yaitu jalan arteri, kolektor dan lokal. Sedangkan
menurut kelasnya jalan dibagi menjadi kelas I, II, IIIA, IIIB, IIIC. Meski
jalan dibedakan menurut fungsi maupun kelasnya, namun fungsi dan kelas jalan
secara langsung juga mempunyai hubungan. Jika dilihat dari segi kekuatannya,
jalan mempunyai kemampuan menerima beban dari kendaraan, secara istilah transportasi
disebut dengan MST (Massa Sumbu Terberat). Sekali lagi, pemisahan jalan
berdasarkan fungsi maupun kelas juga mempuyai hubungan dengan MST (TPGJAK,
1997). Begini lah ilustrasinya.
Setelah sampai pada tahap
ini, mari kita mulai masuk pada permasalahan yang benar-benar nyata di Negara
kita dan mari kita jawab pertanyaan diatas.
Kondisi jalan di Negara kita
tentu belum pada kondisi baik. Perilaku sulam tambal jalan, nampaknya tidak
pernah kita lewatkan. Alhasil, permukaan jalan menjadi tidak rata baik disisi
kanan maupun sisi kirinya. Teori kemiringan jalan dengan nilai minimal 2% tidak
mampu dipenuhi semua jalan yang ada. Selain dari segi fisik, fungsi jalan pun
mengalami deformasi. Jalan arteri di Indonesia hanya ada satu jenis saja yang
benar-benar sesuai dengan aturan, yaitu jalan tol. Lalu bagaimana jalan yang
lain ? Jalan yang lain masih belum. Jalan yang menghubungkan antar beberapa
daerah, banyak yang menggunakan jalan dengan kelas IIIA, yang artinya dia
adalah jalan kolektor atau jalan arteri dengan MST 8 ton. Namun anehnya, jika
mau disebut sebagai jalan kolektor atau jalan arteri, agaknya kurang tepat.
Wajar saja, jalan kolektor seharusnya memberikan akses kerhadap pengguna jalan
secara terbatas terlebih lagi jalan arteri. Namun kebanyakan yang terjadi,
jalan bisa diakses dari mana saja. Jadi tidak diragukan jika arus utama menjadi
terganggu. Kecepatan yang sebelumnya direncanakan untuk desain adalah kecepatan
tinggi menjadi rendah, karena banyak kendaraan yang masuk ke ruas jalan dari
lokasi manapun.
Pelanggaran kendaraan
terhadap beban muatan pun tidak bisa dielakkan juga. Kenyataannya beban
kendaraan yang disertai beban muatan secara langsung menimbulkan akumulasi
beban pada jalan. Hasilnya, kerusakan jalan sebelum waktunya tidak bisa
dielakkan. Jalan dengan tipe IIIA atau II mempunyai MST 8 ton dan 10 ton. Nah disini, jalan IIIA dan II menghubungkan antar provinsi. Yang bisa membuat gigit jari adalah, jenis
kendaraan yang lewat pada jalan tipe ini juga berupa kendaraan berat. Artinya kendaraan ditambah bebannya memiliki
nilai melebihi 8 ton dan 10 ton.
Kenapa hal itu bisa terjadi
?
Pertama, kita merujuk ke
aturan pemerintah selaku pedoman untuk pembuatan jalan. Pada aturan pemerintah
(Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
: 19/PRT/M/2011) MST jalan kolektor adalah 8 ton. Kita tahu faktanya, jalan tol
di Indonesia belum menyeluruh menjangkau di semua wilayah, terlebih lagi jalan
kelas I. Pertanyaannya, kenapa tidak dinaikkan saja MST untuk jalan-jalan
tersebut ? Mungkin angka 8 terlanjur disebut bagus, maka tidak dirubah sejak
bertahun-tahun lalu. Jikalau saja MST dinaikkan setidaknya, desain jalan bisa
disesuaiakan dengan kebutuhan. Hasilnya tentu saja, jalan tidak akan mudah
rusak. Jalan akan mampu menahan beban berat akibat dari kendaaaran yang lewat.
Bahkan Emirat Arab memberikan nilai MST yang tak terbatas untuk jalan-jalan
mereka. Jadi bisa ditebak kan, hasilnya apa ?
Kedua, kenakalan pengguna
jalan yang seolah-olah tidak mau tahu, terutama kendaraan angkutan berat.
Berharap dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya, kendaraan tersebut memastikan
muatan yang dibawanya maksimal. Padahal kemaksimalan muatan versi pengendara secara
bersamaan menyalahi aturan yang ada. Sehingga secara eksplisit menyatakan bahwa muatan
maksimal ditentukan sebesar 8 ton dilampaui. Kacaunya lagi, mereka bisa lolos
dari jembatan timbang yang ada disetiap wilayah, dengan hanya memberikan
bingkisan pada penjaganya. Dengan kombinasi dua perilaku inilah, akhirnya
kendaraan berat melenggang santai di jalan yang sebanarnya tidak cocok
untuknya.
Ketiga, posisi pabrik atau industri
yang kurang tepat, turut serta dalam menyumbang kerusakan jalan pula. Karena
IMB keluar tanpa diiringi kematangan master
plane pembuatan jalan, akhirnya posisi industri menjadi salah tempat.
Industri yang menghasilkan barang-barang berbobot berat ujung-ujungnya yang menghakimi
jalan. Bahkan, beberapa pabrik memberikan peraturan yang secara nyata
memberikan imbas pada jalan. Misalnya peraturan kepada pembeli untuk membeli
barangnya dengan berat minimal tertentu yang secara nyata melebihi MST.
Semua memang sudah terjadi,
tinggal sekarang kita perlu mengambil sikap yang baik untuk keadaan ini.
Pemerintah sebagai pemandu peraturan-peraturan yang berlaku secara legal, sudah
selayaknya mengkaji ulang dan melakukan studi-studi terkait akan keberadaan
peraturan yang sekarang berlaku. Jika memang harus disempurnakan, maka perlu disempurnakan demi kepentingan bersama. Selain itu, perlu adanya edukasi terhadap masyarakat berkenaan jalan raya dan penindakan yang tegas berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara. Sedangkan kepada masyarakat,
perlu ditingkatkannya kesadarannya ketika berkendara. Jalan adalah milik
bersama yang dimiliki oleh semua orang dan menghubungkan semua wilayah.
Jalan memang infrastruktur
yang tidak begitu besar bentuknya. Bentuknya pun tidak semenarik bangunan
perkantoran ataupun gedung lainnya dengan kekuatan arsitektur yang tinggi. Namun
jalan adalah indikasi perkembangan bangsa. Jalan adalah akses utama bagi segala
jenis perkembangan bangsa. Pembangunan dalam bidang yang lainnya pun sangat
bergantung dari keberadaan jalan ini. Jangan pernah lupa, kalau jalan adalah
sarana mobilitas segala jenis barang maupun jasa. Keberadaan jalan yang selalu berada
dalam performa baik akan mendukung segala jenis pertumbuhan bangsa. Mari jaga
jalannya, untuk pembangunan berkelanjutan berskala nasional yang lebih baik.
“Jalan memang akan sama, namun
kedepan pembangunan akan selalu berkembang lewat jalan”
*sumber gambar paling atas : http://www.trenzet.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar