Social Icons

Pages

Kamis, 10 November 2016

Meneropong Infrastruktur Jalan


PELITA, apakah ada yang masih mengingat akan hal ini ?
Tentu saja, PELITA sangat terkenal pada eranya saat itu. Benar saja, gebrakan yang dilakukan oleh presidan ke-2 Republik Indonesia itu berhasil menyita perhatian khalayak dan seolah-olah menjadi motor pergerakan pembangunan di Indonesia. Bahkan secara jelas pak presiden pada saat itu disebut sebagai bapak pembengunan. Berlanjut di masa ini, masa pemerintahan presiden Jokowi, yang hampir sama dengan masa lalu. Beliau juga menggaungkan tentang pembangunan untuk bangsa ini. Niatan pak presiden RI ke-7 ini sangat jelas beliau sampaikan secara tersirat pada presentasinya di pertemuan dengan Negara-negara di dunia (dalam pertemuan KTT APEC) pada tahun 2014 lalu. Terlepas dari itu semua, pada tulisan ini saya tidak akan membahas banyak berkenaan eksistensi seorang pemimpin dalam mengawal Negara ini dati masa ke masa. Mari kita beralih menuju topik yang lain yang sejak tadi disinggung-singgung diawal paragraf, yaitu berkenaan dengan infrastruktur.

Infrastruktur merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia saat ini. Penyebutan manusia saat ini erat kaitannya dengan perkembangan manusia baik dalam sisi pola pemikiran dan kebutuhan. Saya dapat menyebut infrastruktur tidak dibutuhkan pada tempo dulu. Misalnya pada saat mobil belum ditemukan. Tidak adanya alat transportasi berupa mobil, membuat pola fikir manusia tidak sekompleks hari ini. Dahulu kala tidak ada yang berfikir keharusan keberadaan jalan raya yang layak pakai dan aman. Tidak hanya mobil saja, penemuan-penemuan lain pun turut menyumbang dalam bidang perkembangan ini. Penemuan listrik, mikroskop, telephone, dan banyak lagi lainnya. Ujung dari ini semua, ditutup dengan kegiatan yang luar biasa besar dalam sektor industri, yang secara nyata mempengaruhi kehidupan diseluruh dunia. Kita mengenal istilah ini dengan nama “Revolusi Industri”. Meskipun revolusi industri tidak dialami oleh Negara kita secara langsung, namun nyatanya dampak itu tidak mengecualikan Indonesia. Hingga sampai sekarang, semua Negara didunia mengalami pertumbuhan infrastruktur yang hebat disemua lininya, tak terkecuali Negara kita Indonesia.

Infrastruktur memang banyak warnanya, mulai dari gedung, jalan, bangunan energi, fasilitas publik, dan masih banyak lagi jenisnya. Kita tidak akan memabahas sebanyak itu dalam satu judul ini. Mari fokus terhadap infrastruktur jalan. Jalan menjadi sangat popular higga saat ini. Bersamaan dengan kebutuhan manusia untuk melakukan mobilisasi, jalan seolah-olah menjadi kebutuhan utama. Dibumbui dengan semakin menariknya moda transportasi, maka tak perlu diragukan lagi bahwa jalan harus ada dan selalu ada dengan performa terbaik. Maka tak aneh, jika jalan menjadi bagian terpenting untuk di diskusikan oleh pemerintah dimejanya. Bahkan undang-undang berkenaan dengan hal ini pun banyak rupanya.

Kondisi jalan di Indonesia masih malu-malu kalau boleh dikata. Sudah tak terhitung lagi jumlah jalan yang ada di Indonesia saat ini. Namun bagaimanakah kondisinya ? Bagaimana fungsi dan perannya ? Apakah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku ?

Sebelum menjawab itu semua, mari sejenak kita mengenal istilah-istilah seputar jalan.

Jalan menurut fungsinya dibagi menjadi 3 jenis, yaitu jalan arteri, kolektor dan lokal. Sedangkan menurut kelasnya jalan dibagi menjadi kelas I, II, IIIA, IIIB, IIIC. Meski jalan dibedakan menurut fungsi maupun kelasnya, namun fungsi dan kelas jalan secara langsung juga mempunyai hubungan. Jika dilihat dari segi kekuatannya, jalan mempunyai kemampuan menerima beban dari kendaraan, secara istilah transportasi disebut dengan MST (Massa Sumbu Terberat). Sekali lagi, pemisahan jalan berdasarkan fungsi maupun kelas juga mempuyai hubungan dengan MST (TPGJAK, 1997). Begini lah ilustrasinya.


Setelah sampai pada tahap ini, mari kita mulai masuk pada permasalahan yang benar-benar nyata di Negara kita dan mari kita jawab pertanyaan diatas.

Kondisi jalan di Negara kita tentu belum pada kondisi baik. Perilaku sulam tambal jalan, nampaknya tidak pernah kita lewatkan. Alhasil, permukaan jalan menjadi tidak rata baik disisi kanan maupun sisi kirinya. Teori kemiringan jalan dengan nilai minimal 2% tidak mampu dipenuhi semua jalan yang ada. Selain dari segi fisik, fungsi jalan pun mengalami deformasi. Jalan arteri di Indonesia hanya ada satu jenis saja yang benar-benar sesuai dengan aturan, yaitu jalan tol. Lalu bagaimana jalan yang lain ? Jalan yang lain masih belum. Jalan yang menghubungkan antar beberapa daerah, banyak yang menggunakan jalan dengan kelas IIIA, yang artinya dia adalah jalan kolektor atau jalan arteri dengan MST 8 ton. Namun anehnya, jika mau disebut sebagai jalan kolektor atau jalan arteri, agaknya kurang tepat. Wajar saja, jalan kolektor seharusnya memberikan akses kerhadap pengguna jalan secara terbatas terlebih lagi jalan arteri. Namun kebanyakan yang terjadi, jalan bisa diakses dari mana saja. Jadi tidak diragukan jika arus utama menjadi terganggu. Kecepatan yang sebelumnya direncanakan untuk desain adalah kecepatan tinggi menjadi rendah, karena banyak kendaraan yang masuk ke ruas jalan dari lokasi manapun.

Pelanggaran kendaraan terhadap beban muatan pun tidak bisa dielakkan juga. Kenyataannya beban kendaraan yang disertai beban muatan secara langsung menimbulkan akumulasi beban pada jalan. Hasilnya, kerusakan jalan sebelum waktunya tidak bisa dielakkan. Jalan dengan tipe IIIA atau II mempunyai MST 8 ton dan 10 ton. Nah disini, jalan IIIA dan II menghubungkan antar provinsi. Yang bisa membuat gigit jari adalah, jenis kendaraan yang lewat pada jalan tipe ini juga berupa kendaraan berat.  Artinya kendaraan ditambah bebannya memiliki nilai melebihi 8 ton dan 10 ton.

Kenapa hal itu bisa terjadi ?

Pertama, kita merujuk ke aturan pemerintah selaku pedoman untuk pembuatan jalan. Pada aturan pemerintah (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum  Nomor : 19/PRT/M/2011) MST jalan kolektor adalah 8 ton. Kita tahu faktanya, jalan tol di Indonesia belum menyeluruh menjangkau di semua wilayah, terlebih lagi jalan kelas I. Pertanyaannya, kenapa tidak dinaikkan saja MST untuk jalan-jalan tersebut ? Mungkin angka 8 terlanjur disebut bagus, maka tidak dirubah sejak bertahun-tahun lalu. Jikalau saja MST dinaikkan setidaknya, desain jalan bisa disesuaiakan dengan kebutuhan. Hasilnya tentu saja, jalan tidak akan mudah rusak. Jalan akan mampu menahan beban berat akibat dari kendaaaran yang lewat. Bahkan Emirat Arab memberikan nilai MST yang tak terbatas untuk jalan-jalan mereka. Jadi bisa ditebak kan, hasilnya apa ?

Kedua, kenakalan pengguna jalan yang seolah-olah tidak mau tahu, terutama kendaraan angkutan berat. Berharap dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya, kendaraan tersebut memastikan muatan yang dibawanya maksimal. Padahal kemaksimalan muatan versi pengendara secara bersamaan menyalahi aturan yang ada. Sehingga  secara eksplisit menyatakan bahwa muatan maksimal ditentukan sebesar 8 ton dilampaui. Kacaunya lagi, mereka bisa lolos dari jembatan timbang yang ada disetiap wilayah, dengan hanya memberikan bingkisan pada penjaganya. Dengan kombinasi dua perilaku inilah, akhirnya kendaraan berat melenggang santai di jalan yang sebanarnya tidak cocok untuknya.

Ketiga, posisi pabrik atau industri yang kurang tepat, turut serta dalam menyumbang kerusakan jalan pula. Karena IMB keluar tanpa diiringi kematangan master plane pembuatan jalan, akhirnya posisi industri menjadi salah tempat. Industri yang menghasilkan barang-barang berbobot berat ujung-ujungnya yang menghakimi jalan. Bahkan, beberapa pabrik memberikan peraturan yang secara nyata memberikan imbas pada jalan. Misalnya peraturan kepada pembeli untuk membeli barangnya dengan berat minimal tertentu yang secara nyata melebihi MST.

Semua memang sudah terjadi, tinggal sekarang kita perlu mengambil sikap yang baik untuk keadaan ini. Pemerintah sebagai pemandu peraturan-peraturan yang berlaku secara legal, sudah selayaknya mengkaji ulang dan melakukan studi-studi terkait akan keberadaan peraturan yang sekarang berlaku. Jika memang harus disempurnakan, maka perlu disempurnakan demi kepentingan bersama. Selain itu, perlu adanya edukasi terhadap masyarakat berkenaan jalan raya dan penindakan yang tegas berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara. Sedangkan kepada masyarakat, perlu ditingkatkannya kesadarannya ketika berkendara. Jalan adalah milik bersama yang dimiliki oleh semua orang dan menghubungkan semua wilayah.

Jalan memang infrastruktur yang tidak begitu besar bentuknya. Bentuknya pun tidak semenarik bangunan perkantoran ataupun gedung lainnya dengan kekuatan arsitektur yang tinggi. Namun jalan adalah indikasi perkembangan bangsa. Jalan adalah akses utama bagi segala jenis perkembangan bangsa. Pembangunan dalam bidang yang lainnya pun sangat bergantung dari keberadaan jalan ini. Jangan pernah lupa, kalau jalan adalah sarana mobilitas segala jenis barang maupun jasa. Keberadaan jalan yang selalu berada dalam performa baik akan mendukung segala jenis pertumbuhan bangsa. Mari jaga jalannya, untuk pembangunan berkelanjutan berskala nasional yang lebih baik.


“Jalan memang akan sama, namun kedepan pembangunan akan selalu berkembang lewat jalan”
*sumber gambar paling atas : http://www.trenzet.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates